Hujan Turun di Bubungan Atap

sebuah film pecah¹. saran dari penulis: selama membaca, sebaiknya sembari mendengar: s.id/bgm30hbc2402 (nyalakan mode repeat)

Tan Himada
8 min readJan 12, 2024

Esoknya, Haru berhenti melakukan semua itu. Persetan dengan Dokter Iwan, persetan dengan Sus Rini, persetan kalian semua. Dia sadar kamar itu adalah pesanan uwaknya, dan orang-orang berjas putih dengan senyum penuh bujukan adalah suruhan uwaknya agar Haru mau dirawat disini. Meski seorang penyakitan, Haru tidak butuh inisiatif dan belas kasihan orang lain, dia bisa mengurus semua sakitnya sendiri.

Musim penghujan datang, Haru sadar ini adalah musim dimana kekebalan tubuhnya mencapai titik yang paling rentan. Dia akan mudah bersin-bersin–yang mana orang-orang akan mengira 'sakit itu' nya kambuh–, dia akan mudah batuk-batuk–yang mana orang-orang juga akan mengira 'sakit yang satunya' juga kambuh–, dan efek semua itu, dia akan gampang lemas dengan udara dingin yang mudah masuk ke sela-sela tulangnya–pun yang mana orang-orang yang melihatnya menggigil akan mengira 'kejang' nya kambuh.

Haru sudah bertekad, dia harus tampil sebaik-baiknya.

Dalam tas selempang warna hitam–yang disampirkannya kemanapun–selalu berisi:

1) Kresek hitam. Sebelum ada manusia yang sadar dan panik melihatnya muntah tiba-tiba.

2) Parfum, untuk menghilangkan aroma muntahnya–dan bau tubuhnya yang jarang mandi.

3) Roll On, sebuah tabung kecil berisi aromaterapi kesukaannya, memberi sugesti pada otaknya–saat ia sedang sendiri–bahwa ia akan baik-baik saja.

4) Kacamata Hitam. Selain buat gaya, ini juga berfungsi untuk menutupi bagian bawah matanya yang menggelap karena insomnia akut–yang dideritanya.

5) Jam tangan serta sebuah kalung bermanik-manik hitam-putih. Dua benda ini supaya tak ada lirikan belas kasihan, dan menatap Haru seperti orang miskin (hhh) saja.

Sisanya tentu telepon genggam lipat terbaru, dompet, serta sisir kecil berwarna dongker.

Setelah mengenakan Topi Cyan favorit bertulisan The Smart One, Haru sekali lagi mengecek keperluan miliknya.

Lantas tersenyum gagah di depan cermin sembari membatin, tidak buruk, lumayan juga.

Ia telah siap pergi ke tempat rahasianya, 'tempat persembunyian’.

Sudah tiga minggu lebih Haru tidak kembali ke sini. Bukan.

Bukan karena memori buruk yang ia miliki. Tapi karena ia mempunyai kesibukan yang memaksanya bertahan hidup. Sebelum sampai di bubungan atap² rumah sakit, Haru mampir lebih dulu membeli segelas kopi susu dan 4-5 potong bolu pisang di kantin langganan. Suatu ritual sederhana yang ia lakukan tiap kali melarikan diri kesini.

"Eh, Mas Haru. Balik lagi, Mas? Tumben lama gak keliatan," sapa Mbak Fury, penjaga kantin, dengan ramah.

Haru terkekeh.

"Hehehe, enggak berobat, Mbak. Bukan. Lagi main aja."

"Waahh," seru Mbak Fury,

"Kayaknya area main Mas Haru lagi terjajah deh. Beberapa hari kebelakang ada yang di sana juga. Hihi."

siapa...

"Ooo begitu, Mbak. Makasi btw infonya, nanti saya kenalan deh, Mbak," balas Haru dengan kikuk.

Cuaca mendung siang ini membuat Haru nyaman tidur di kursi panjang sembari menatap langit. Ia sudah berjanji tidak akan bangkit dari posisi ini sampai cahaya matahari dari celah-celah awan gelap itu yang membangunkannya–yang mana itu berarti akan lama.

Atau..

Atau terbangun saat lututnya ditepuk.

Haru sontak membuka matanya. Kaget.

Tepukan di lutut itu otomatis mengaktifkan mode siaga pada tubuhnya.

Beranjak duduk dan mengerjap-ngerjap siapa yang membangunkannya.

"Hai, Kawan," sapa seorang pemuda berpenampilan necis, rambut fluffy yang rapi, serta berwajah klimis.

Kepala Haru melongok.

"Gue Fuyu," sambungnya sambil menyodorkan sekaleng minuman keras dan duduk di sebelahnya.

"Eh maaf, gue muslim. Makasih, tapi enggak," ucap Haru kikuk sembari menangkupkan tangan seperti emoji.

"Hahahaha, oke oke. Harusnya tadi gue beli Tuku³ ya," gelak Fuyu setelah mengintip 'perbekalan' Haru.

"Hehe," tawa Haru datar.

"Lo ngapain disini? Sendirian aja?" tanya Fuyu sambil menenggak kaleng itu.

...harusnya gue yang nanya ke elo gasi...

"Hmm. Main?" jawab Haru asal.

"Wuidiihh," Fuyu tergelak lagi,

"Bagus bener ngelesnya, dek. Mana ada orang yang main tapi pas ditemuin lagi tiduran ngadep langit, trus masang muka-muka penuh kepiluan begitu," sambung Fuyu sambil menoyor kepala Haru.

...sok akrab banget...

"Lagi banyak pikiran ya, lu?" tanyanya,

"Mau cerita ke gue gak?"

...boleh juga kali yak, abis ini juga enggak ketemu lagi palingan...

"Hmm. Gaada apa-apa sih. Gue cuma lagi kepikiran soal 'mati' aja...," ucap Haru hati-hati.

"Waduh, gak 'aja' sih itu broo," potong Fuyu.

Suasana diam sejenak.

"Kepikirannya udah lama? Atau baru-baru ini?" sambungnya.

"Hmmm, dari kapan ya? Dari gue SMA kayaknya," jelas Haru.

"Lo mau cerita detailnya ke gue biar gue bisa bantu dan mahamin elo? Atau mau intinya aja biar langsung gue kasi solusi?" tangkas Fuyu.

"Intinya aja, deh," Haru menarik nafas panjang.

"Jadi gue yatim piatu, bokap dah meninggal, nyokap dah wafat dari gue kecil. Trus gue tinggal sama uwak gue, kakak bokap..."

"Uwak lu orang susah?" potong Fuyu.

"Enggak. Cukup berada. Berada betul sih, menurut gue,"

"Dia dan 'centeng-centengnya' yang masukin gue ke rumah sakit ini," jelas Haru.

"Kalo lu motong sekali lagi, gue udahan ceritanya."

"Oke, oke. Maaf," ucap Fuyu.

"Tapi btw bolu lu boleh gue cobain gak?"

"Enak kayanya."

"Nih, ambil ambil. Abisin aja," sergah Haru sambil menyodorkan seplastik bekalnya itu.

Fuyu tertawa lepas.

"Oke, selama mulut gue ngunyah, lo lanjutin aja. Ga akan gue potong lagi," gelaknya.

"Sampe mana tadi?"

"Uwhak lhu oorhang berhada.." balas Fuyu–dengan mulut penuh–memberi ingat.

"Oh, oke."

"Uwak gue orang berada. Saking beradanya, tangan kanan dia di mana-mana."

"Berasa diawasin gue," sambung Haru sembari melirik ke arah Fuyu.

Yang dilirik hanya memberikan isyarat tangan menepis-nepis udara,

seolah berkata, lanjut aja, Har.

"Takut," sambung Haru lagi.

"Gue ini udah 25 tahun, tapi cara dia memperlakukan gue seolah-olah gue cowo culun 15 tahun. Bete banget ada suruhannya⁴ yang ngawasin gue ke mana-mana,"

"Thaphi lho emhangh chulun gasih.." dongak Fuyu yang sedari tadi sibuk mempotek-potek bolu Haru agar tidak cepat habis.

"Ah, udahlah. Males bener gue cerita ma orang kek elu," berang Haru.

"Maaf Har, maaf," Fuyu merendahkan suaranya,

"Yaudah langsung intinya aja deh biar cepet."

"Kenapa langit harus hujan?"

Hening.

"Woi," panggil Haru.

"Hah?" yang dipanggil malah gagap, "Serius itu 'inti' nya, Har?"

...har har aje lu, perasaan kiteni belom ada kenal sejam...

"Iya," balas Haru singkat.

"Jelasin dong weh," lekas Fuyu,

"Mhana phaham ghuwe...," sambil mengunyah potongan bolu yang tersisa.

"Kenapa langit harus hujan?" ulang Haru,

"Maksudnya, kenapa gue harus sakit?"

Hening kembali.

"Kenapa uwak gue harus peduli sama gue?"

"Kenapa suruhannya harus terus ngikutin dan mata-matain gue?"

"Kenapa gue harus tinggal di kota ini? Kalo Tuhan baik, kenapa gue ga dikasi rezeki lebih buat move on ke kota lain?"

"Ooo, jadi lo sakit," simpul Fuyu.

"Iya."

"Mana gue tau kalo lo sakit," balasnya ramah dengan senyuman tipis.

"Maaf. Tapi sekarang lo tau, kan?"

"Hahaha. Tempramen betul bujang satu ini," gelak Fuyu,

"Boleh gue bantu jawab dan urai isi kepala lu?"

"Boleh."

...kalo engga, gue ga bakal cerita ke elu, fuyu...

"Langit hujan karena udah waktunya," jawab Fuyu singkat.

"Lu tau siklus air kan?" sambungnya.

Suasana lengang.

"Air gak tiba-tiba turun jadi hujan, kan?" tanya Fuyu ke Haru sekali lagi.

"Iya..," jawab Haru hati-hati.

"Gue jelasin dulu deh, Har."

"Air gak tiba-tiba jadi hujan karena air itu melalui proses yang panjaanggg," terang Fuyu sambil merentangkan tangannya lebar-lebar.

"Biasa aja, bang. Gausa sampe kena badan gue juga bisa ga?" seru Haru marah.

"Selowww dikit dekk, hidupmu serius betul kayaknya," cengir Fuyu sambil meninju lengan Haru.

"Sepanjang apa sih prosesnya?" sambung Fuyu dengan pertanyaan–yang tak perlu dijawab.

"Awal-awalnya air tuh ga keliatan. Dia tersembunyi di dalem tanah. Tapi, namanya juga air yak, dia bisa ngalir."

"Ngalir itu sifat fitrahnya air," tambah Haru.

"Pinterrr," puji Fuyu.

"Air itu ngalirrr terus. Baik yang diem-diem di dalem tanah, juga yang keliatan di atas tanah, kayak selokan, sungai, juga danau,"

"Tapi mau diem-diem atau terang-terangan, air-air ini semuanya bermuara ke satu titik."

"Laut," Haru berdesah kecil.

"Bbetuullll, wuih pinter juga bro gue satu ini," gelak Fuyu penuh pujian pada rekannya.

"Culun-culun gini, gue lulus SD dan enggak skip matpel IPA, woi," amuk yang diledek.

"Percaya, bang. Percayaa," jawab Fuyu lagi–masih dengan penuh tawa,

"Lanjut gak nih?"

"Iya," balas Haru.

"Sampai di Laut, semua air itu bakal ngalamin penguapan atau evaporasi, dan nanti reunian lagi di awan."

"Lapisan awan yang udah kebentuk bakal ketiup angin, terus naik, dan makin naik ke lapisan atmosfer. Yang kita sama-sama tahu, makin atas, suhunya makin dingin.."

"Gue gatau," potong Haru.

"Ya makanya ini gue kasih tau," cengir Fuyu, "Oke, lanjut,"

"Air-air yang terkumpul jadi awan ini, bakal ngalamin kondensasi, singkatnya perubahan titik-titik air atau benda gas jadi benda cair. Semua ini bisa terjadi kalo suhu udara di bawah suhu titik embun atau 'dew point’."

"Makin dingin suhu awannya, makin cepet kondensasi terjadi."

"Trus sampai di 'peak point' tertentu, presipitasi deh, hujan turun."

Lengang sejenak.

"Yaa, jadi gitu, Har. Alasan kenapa langit hujan karena udah waktunya," tutup Fuyu dengan cengiran penuh kemenangan.

"Hah, gimana-gimana?" sergah Haru,

"Gak paham gue hubungan jawaban lu sama 'inti sebenarnya' dari pertanyaan gue."

"Hhhhhhh," desah Fuyu panjang,

"Padahal tadi ada yang pamer kalo lulus SD dan enggak skip matkul IPA."

"Dieeeemmmmmm," cekikik Haru yang berusaha meninju lengan Fuyu.

"Hahahahaha," gelak Fuyu,

"Jadi begini, Yang Mulia Haru,"

"Ujian hidup yang dititip ke manusia itu kayak hujan. Emang udah waktunya. Pas masa evaporasi, atau penguapan, kita sebagai manusia harusnya ngejalanin kewajiban kita beribadah, berbuat baik, berwatak mulia, tapi kita abai,"

"Trus di masa kondensasi, kita udah tau nih, yang kita lakuin bener atau salah, tapi kita masiiihh aja lanjut,"

"Masih abai sama kewajiban-kewajiban kita ke Tuhan, masih abai sama hak-hak Tuhan atas diri kita,"

"Masih juga abai sama hak dan kewajiban kita ke Hamba Tuhan lainnya," jelas Fuyu dengan suara parau.

"Kalo kita terus dan menerus abai, kita bakal sampe di puncaknya. Kita sampai di titik presipitasi. Emang udah waktunya kita buat 'ngerasain' hujan. Mungkin hujan adalah cara-Nya buat negor kita, nyadarin kita, ngebersihin dosa-dosa kita, ngehapus segala kesalahan-kesalahan kita,"

"Emang udah waktunya kita ngerasain hujan, Har. Menurut gue, karena satu-dua hal gue miss, gue enggak bertindak sesuai sama apa yang diatur di agama gue. Gue enggak berkelakuan sesuai sama apa yang ada di kitab suci gue. Gue merasa kotor, Har," jelas Fuyu panjang.

"Emang udah waktunya gue ngerasain hujan, dan gue seneng dikasih kesempatan sama Tuhan buat ngerasain 'hujan ini'," tutup Fuyu.

"Ooooohhhh," Haru ber-ooh panjang.

"Jadi intinya, kesimpulan lo, ini semua bentuk kebaikan Allah buat gue, yak?" tanyanya.

"Iya," senyum Fuyu mengembang,

"Kalo itu yang lo percaya, kurang lebih mirip lah sama apa yang gue jelasin.."

"Jadi menurut lo, gue gak bisa nuntut Tuhan balik nih, atas kelakuan Uwak gue? atas tingkah laku suruhannya yang kemana-mana ngikutin gue? atas semua penyakit gue yang gamau lepas dari gue?" tanya Haru lagi.

"Iyaa..," jawab Fuyu pelan,

"Gak bisa, karena lo harusnya berkaca lo udah 'ngapain aja' ke Tuhan lo."

"Hmmmm," gumam Haru.

"Gak terima ya lo, sama jawaban gue?" sembur Fuyu,

"Padahal udah panjang kali lebar kali tinggi gue jelasin, hhhhhh."

"Masuk akal sih, belom puas aja gue," ceplos Haru.

"Terserah lo deh," ambek Fuyu.

"Gue balik ke kamar dulu. Makasih btw bolunya, mayan ganjel perut gue yang belum bisa masuk makanan dari kemaren."

"Oohh oke, makasih juga reminder-nya, Bang," balas Haru dengan senyum lebar,

"Gue boleh bagi nomor hape lu, gak?"

"Gausah," cengir Fuyu.

...lah, ngapain gue, sok akrab bener, perasaan tadi dia..., batin Haru.

"Bisa jadi pas lu kesini lagi, gue udah gaada," tutupnya.

“Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya.”

(QS. Al-Mu’minun [23] : 18).

"Termasuk dari tidak sempurnanya iman, yaitu melakukan dosa kecil dan besar dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Tapi bukan berarti yang tidak melakukan itu, artinya memiliki iman yang sempurna.

Tidak sempurnanya iman juga berarti saat seseorang tidak mengikuti Nabi (Shalallahu 'Alaihi Wassalam) dengan sempurna."

–Ustadz Nur Rohmad, Tim Aswaja NU (2021)

Epilog:

Saat ingin kembali merebahkan badannya, Haru menyadari satu hal. Gelang di pergelangan Fuyu berwarna ungu.

catatan kaki:

¹film pecah, menurut @prawitamutia, adalah suatu karya sastra yang terdiri dari lukisan, tulisan, dan bunyian.

²kata serapan untuk rooftop

³salah satu merk kopi lokal di Indonesia–yang tidak terafiliasi dengan gerakan Pro-Zionisme, sebagai informasi tambahan.

⁴dokter pribadi

///

sumber inspirasi:

s.id/inspirasi1_30hbc2402

s.id/inspirasi2_30hbc2402

--

--

Tan Himada

seorang eksil dalam mayapada asing; wrote: tour to the Netherworld, shortly.