Kisah Tentang Si Paling Kuat

terinspirasi dari @mutafattihazahra_

Tan Himada
4 min readJan 1, 2024

Rumah yang Fadhila datangi ukurannya kecil, bertingkat tiga, dan ada tower air di halaman paling atas. Saat ia mengintip sedikit, di lantai pertamanya, nampak seperti Raudhatul Athfal¹. Tembok-tembok dengan lukisan khas anak kecil, warna-warna yang ceria, serta arena bermain di pojok dengan matras alfabet.

Fadhila menatap rumah itu beberapa kali, kemudian melangkah masuk. Ada motor Honda Scoopy berwarna merah dan Honda Vario 160 berwarna putih yang terparkir di pintu samping. 𝘖𝘰𝘰𝘩𝘩, 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘮𝘱𝘦𝘯 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘪, 𝘮𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘣𝘦𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘱𝘦𝘯𝘤𝘦𝘨𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘯𝘤𝘶𝘳𝘪𝘢𝘯, pikirnya.

Fadhila mengetuk pintu kaca, berseru, dan mengucap salam.

Tak berapa lama seorang laki-laki paruh baya–tapi masih terkesan muda–keluar dari dalam. Sederhana, hanya menggunakan kemeja koko berwarna biru muda dan celana bahan coklat gelap. Tubuhnya cukup gempal, sedikit lebih tinggi dari Fadhila, tapi ia terlihat sangat sehat dan gagah.

"Apa benar ini rumah Pak Said?" tanya Fadhila sopan.

"Benar, saya sendiri. Kamu siapa ya?"

"Saya Fadhila, Pak. Yang menghubungi Bapak lewat Instagram."

"Oohh, Fadhila. Wah, akhirnya sampai juga. Gimana tadi, kesasar gak? Susah gak nemuin rumah saya?" sambut Pak Said ramah.

Fadhila menggeleng.
"Tidak, Pak. Tadi ojeknya memang sempat salah belok, tapi itu karena saya lupa nama gang rumah Bapak."

"Hahaha. Maaf kalau rumah saya seadanya. Dulu tempat ini sepi, tapi di akhir tahun 2010 kemudian ramai setelah Perumahan Baru di seberang selesai dibangun. Akibat harga rumah disana lebih mahal, jadi berbondong-bondong banyak yang investasi disini," jelas Pak Said sambil beranjak membuka pintu dan menuju arah tikar yang tergelar di lantai.

Fadhila mengagumi rasa tenang yang dirasakan saat masuk ke dalam. Ruang tamunya–atau bisa kita sebut kelas bagi anak-anak kecil itu–cukup luas, suasana sejuk menyambut Fadhila saat bersila di atas tikar. 𝘩𝘮𝘮𝘮, 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘤𝘶𝘬𝘶𝘱 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘵𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢𝘭 𝘥𝘪𝘴𝘪𝘯𝘪, batinnya.

"Duduk, duduk. Anggap saja rumah sendiri. Sebentar ya, saya siapkan minuman," suara Pak Said memecah lamunan Fadhila.

"Tidak usah, Pak. Tidak apa-apa, malah merepotkan Bapak."

"Kenapa merepotkan? Hanya minuman saja kok. Saya justru senang kedatangan tamu seperti ini. Sebentar ya," gelak Pak Said sembari melangkah ke dalam. Meninggalkan Fadhila sendirian.

Fadhila berusaha mengingat-ingat apa tujuannya kesini. Dia tak ingin menyita banyak waktu Pak Said di Rabu pagi ini.

Lima menit kemudian, Pak Said keluar dengan istrinya. Pak Said membawa dua gelas teh hangat, sedangkan istrinya membawa seporsi besar pisang goreng yang masih panas.

"Terimakasih, Pak, Bu," seru Fadhila kikuk.

"Panggil Umma saja, diminum diminum. Dinikmati, ya," ucap wanita dengan senyum yang sama hangatnya dengan sajian yang ia bawa.

"Terimakasih, Umma."

"Jadi, bagaimana Mbak Fadhila. Mbak butuh bantuan apa dari saya?" buka Pak Said tanpa basa-basi.

Fadhila yang sedang meneguk teh, lantas terkejut. Tidak menyangka akan ditanya langsung ke intinya.

"Mmm, eh. Begini, Pak...," ucapnya sambil buru-buru menelan air teh, "soal postingan Bapak beberapa hari lalu. Tentang Penulis 𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘒𝘶𝘢𝘵, Pak."

"Yang ini, Pak," sembari menyodorkan tablet yang sudah membuka postingan pada halaman sosial media Pak Said.

Di situ tertulis:
𝘜𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘗𝘦𝘯𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘛𝘦𝘳𝘯𝘢𝘮𝘢, 𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘒𝘶𝘢𝘵, 𝘚𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘛𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘉𝘢𝘳𝘶 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮. 𝘐𝘯𝘨𝘢𝘵𝘭𝘢𝘩 𝘣𝘢𝘩𝘸𝘢 𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵-𝘯𝘪𝘬𝘮𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘵𝘢𝘯𝘨, 𝘴𝘦𝘴𝘶𝘢𝘪 𝘫𝘢𝘯𝘫𝘪 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩–𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘨𝘢𝘯𝘫𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪-𝘕𝘺𝘢–, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘮𝘶𝘭𝘢𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩-𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘬𝘶𝘪 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘬𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘧𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘩𝘢𝘮𝘣𝘢𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘢𝘵𝘢𝘴-𝘕𝘺𝘢.

𝘜𝘯𝘵𝘶𝘬𝘮𝘶, 𝘗𝘶𝘵𝘳𝘪 𝘛𝘦𝘳𝘴𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘬𝘶, 𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘒𝘶𝘢𝘵. 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘵𝘢𝘩𝘶𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢 𝘥𝘪 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳𝘢𝘯 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘥𝘪 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘬𝘪𝘵𝘢, 𝘴𝘦𝘳𝘵𝘢 𝘴𝘦𝘮𝘶𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘭𝘢𝘬𝘶𝘬𝘢𝘯. 𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘴𝘦𝘮𝘣𝘶𝘯𝘺𝘪. 𝘚𝘦𝘮𝘢𝘬𝘪𝘯 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘦𝘳𝘪𝘭𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘩𝘢𝘮𝘣𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘢𝘬 𝘴𝘦𝘨𝘢𝘯-𝘴𝘦𝘨𝘢𝘯–𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘶𝘢𝘴𝘢 𝘭𝘢𝘯𝘨𝘪𝘵 𝘥𝘢𝘯 𝘉𝘶𝘮𝘪–𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘳𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘪𝘮𝘱𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘳𝘶𝘯𝘪𝘢-𝘕𝘺𝘢 𝘱𝘢𝘥𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢.

𝘜𝘯𝘵𝘶𝘬𝘮𝘶, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘬𝘶 𝘩𝘪𝘯𝘨𝘨𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪, 𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘒𝘶𝘢𝘵. 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘪𝘯𝘨𝘢𝘵𝘮𝘶, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘢𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘴𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯𝘮𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘥𝘶𝘭𝘶–𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘜𝘮𝘮𝘢𝘮𝘶. 𝘗𝘦𝘳𝘤𝘢𝘺𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨𝘮𝘶, 𝘴𝘦𝘣𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘱𝘦𝘳𝘯𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘯𝘨𝘦𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘤𝘢𝘳𝘪𝘬𝘶 𝘴𝘦𝘵𝘦𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘢𝘵𝘶𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘮𝘰𝘵𝘰𝘳𝘮𝘶.

𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵-𝘴𝘦𝘩𝘢𝘵 𝘥𝘪 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘴𝘢𝘯𝘢. 𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘢𝘱 𝘦𝘯𝘨𝘬𝘢𝘶 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘣𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘸𝘶𝘫𝘶𝘥𝘬𝘢𝘯 𝘢𝘳𝘵𝘪 𝘯𝘢𝘮𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘶𝘴𝘦𝘮𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘱𝘢𝘥𝘢𝘮𝘶.

𝘈𝘣𝘪 𝘚𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘒𝘢𝘮𝘶.

Pak Said tersenyum sambil menatap layar tablet. Dia tahu postingan ini yang akan ditanyakan pemudi itu, setelah masuk sebuah pesan singkat dari seseorang, yang bukan pengikut akunnya, di Direct Message kemarin lusa.

"Memangnya apa yang mau kamu tanyakan, Mbak Fadhila?" ucap Pak Said sembari mengulum senyum.
"Apa kamu akan bertanya dimana dia?" selidik Pak Said.

"Tidak, Pak. Karena saya tahu dimana dia."

"Oh ya?"

"Saya tahu karena Si Paling Kuat adalah penulis besar dan ternama," jawab Fadhila mantap.

"Ada banyak penulis kondang dan hebat di negeri ini. Ada Andrea Hirata, Tere Liye, Salim A. Fillah, Leila S Chudori, dan banyak lagi. Tapi tidak ada yang menulis seperti Si Paling Kuat," jelas Fadhila dengan antusias.

"Saking kagum saya padanya, saya bahkan tahu nama asli Si Paling Kuat, Pak."

"Oh ya? Kamu tahu nama anak saya?" tanya Pak Said dengan penasaran.

Fadhila diam sejenak. Berpikir apakah harus mengatakannya atau tidak.

"Tahu, Pak," senyumnya beberapa menit kemudian, "Bahasa Arabnya Bunga Indah yang Bermekaran kan, Pak?"

Fadhila menatap wajah Pak Said. Terukir senyum tipis dan tergurat rindu pada matanya.

"Saya izin lanjutkan ya, Pak?"
"Oh iya, silahkan."

"Saya kenal Si Paling Kuat adalah nama yang khas. Orang-orang mengenalnya sebagai penulis yang inspiratif, netral, berani, menarik, serta sisipan 𝘷𝘢𝘭𝘶𝘦 atau prinsip-prinsip terbaik pada tiap tulisannya."

"Saya sadar tulisan-tulisannya muncul di koran-koran nasional, 𝘸𝘦𝘣𝘴𝘪𝘵𝘦, bahkan majalah-majalah era kini. Tulisan dia khas sekali, Pak. Dia tak segan ikut mengomentari isu terkini, meski itu membuatnya bersebrangan pikiran dengan teman-temannya. Dia tak segan ikut mengomentari suatu peristiwa yang bersangkutan dengan islam, jika menurutnya itu harus dikomentari. Dia juga tak takut menyuarakan kebaikan, mengkritik organisasi-organisasi mahasiswa Islam, jika menurutnya itu harus dikritik dan diberikan saran yang membangun."

"Saya benar-benar mengenal anak bapak, Pak. Saya bahkan mengarsipkan beberapa tulisannya dalam jurnal perjalanan saya," tutup Fadhila dengan wajah bahagia penuh kemenangan.

"Yang ingin saya tanyakan pada Bapak," tanya Fadhila dengan ragu.
"𝘔𝘦𝘯𝘨𝘢𝘱𝘢 𝘚𝘪 𝘗𝘢𝘭𝘪𝘯𝘨 𝘒𝘶𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮 𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘳𝘵𝘦𝘮𝘶 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘉𝘢𝘱𝘢𝘬?"

***
Aku ingin jadi seperti Si Paling Kuat.

Di awal tahun ini, aku berharap pada Allah sembari melantunkan:
𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶𝘮𝘮𝘢 𝘪𝘯𝘯𝘢 𝘯𝘢𝘴'𝘢𝘭𝘶𝘬𝘢 '𝘪𝘭𝘮𝘢𝘯 𝘯𝘢𝘧𝘪'𝘢𝘯.
𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶𝘮𝘮𝘢 𝘪𝘯𝘯𝘢 𝘯𝘢𝘴'𝘢𝘭𝘶𝘬𝘢 𝘪𝘮𝘢𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘢𝘮𝘪𝘭𝘢𝘯, 𝘸𝘢 𝘺𝘢𝘲𝘪𝘪𝘯𝘢𝘯 𝘴𝘩𝘰𝘥𝘪𝘲𝘰𝘯, 𝘸𝘢 𝘲𝘰𝘭𝘣𝘢𝘯 𝘬𝘩𝘰𝘰𝘴𝘺𝘪'𝘢𝘯.
𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶𝘮𝘮𝘢 '𝘢𝘪𝘯𝘯𝘢 '𝘢𝘭𝘢 𝘥𝘻𝘪𝘬𝘳𝘪𝘬𝘢 𝘸𝘢 𝘴𝘺𝘶𝘬𝘳𝘪𝘬𝘢 𝘸𝘢 𝘩𝘶𝘴𝘯𝘪 𝘪𝘣𝘢𝘥𝘢𝘵𝘪𝘬.

Mungkin aku gak bisa menjadi diriku yang baru–seperti harapanku–di tahun yang baru,
tetapi aku bangga–dan itu lebih dari cukup–pada diriku yang bisa bertahan selama setahun penuh kemarin dan melanjutkan "ceritaku" di chapter 2024 ini.

–fin.

/////

Note:
• catatan kaki:
¹sejenis taman kanak-kanak

• sumber insiprasi:
s.id/inspirasi1_30hbc2401
s.id/inspirasi2_30hbc2401

--

--

Tan Himada

seorang eksil dalam mayapada asing; wrote: tour to the Netherworld, shortly.